Kereta Keempat Bag. 5 Selesai - Sebuah Cerita
Aku tercengang. Apa yang terjadi ini, tanyaku dalam hati. (Kereta Keempat Bag. 4)
=============================================================================
Dia masih memandangku, aku terdiam lama, dan menunduk. Mungkin wajahku sudah merah padam. Aku tidak tahu perasaan apa ini. Tapi aku sangat bahagia. Tidak lama, aku memutuskan untuk menatapnya dalam, dengan penuh arti, jika aku juga mau terus ada di dekatnya.
Waktu sudah hampir siang, kami kembali melanjutkan pekerjaan kami. Aku melihatnya banyak terdiam hari ini. Seperti memikirkan sesuatu yang serius, tapi aku tidak berani mengganggunya.
Hari ini kami semua kerja lembur. Sampai pukul sebelas malam, belum juga ada seseorang di kantor yang berpamitan untuk pulang, masih serius sibuk dengan pekerjaannya, termasuk aku dan Bara. Kami sibuk masing-masing. Sudah tidak bertegur sapa lagi sejak tadi terakhir makan sore bersama. Aku pun sudah tidak sempat memperhatikannya.
Hampir pukul dua dini hari, akhirnya kami, aku dan Bara berpamitan pulang. Masih ada beberapa yang tinggal disini, mungkin menunggu sampai pagi. Bara mengajakku mampir ke kereta keempat. Dia terlihat begitu semangat untuk mengajakku kesana. Jalannya sudah sedikit berlari, karena takut ketahuan atau mungkin sudah tidak sabar. Aku mengikutinya santai.
" Seru kan?" Tanyanya kemudian setelah kami sampai di gerbong yang gelap, hanya disinari lampu-lampu jalan di luar stasiun.
Aku hanya memandangi sekitar, lebih ke arah seram kalau menurutku, tapi aku diam saja. Aku duduk di kursi tempat kami biasa duduk. Dia masih menempelkan wajahnya di jendela, memandangi pemukiman yang sudah mulai ramai di pagi buta ini. Tampak ibu-ibu mulai mencuci pakaian, bapak-bapak menyiapkan motor kendaraannya untuk berbelanja ke pasar, membawa karung dan keranjang. Belum terdengar suara anak-anak, pasti mereka masih lelap tertidur. Aku tidak begitu tertarik sebetulnya. Aku lebih tertarik dengan seseorang yang begitu tertarik dengan pemandangan itu. Bara memperhatikannya serius. Lama, hampir satu jam kami hanya diam, sibuk dengan pandangan kami masing-masing. Dia memandang ke luar jendela kereta, dan aku memandanginya, mencoba membaca pikirannya.
" Apa aku akan punya kehidupan seperti itu?' Tanyanya memecah sunyi.
" Kehidupan yang bagaimana?" Balasku bertanya.
" Mereka, sangat sibuk dengan dunianya. Dunia yang sederhana hanya demi sesuap nasi, untuk anak-anaknya. Begitu tulus aku melihatnya, meski jauh dari kemewahan." Ceritanya.
" Berdoalah dan berharap kehidupan kita lebih baik dari mereka." Kataku menanggapi.
" Kenapa harus lebih baik dari mereka?" Tanyanya lagi.
" Karena aku mau melahirkan generasi yang lebih baik kehidupannya. Tidak perlu bersusah payah di area pemukiman yang kurang layak. Yang kurang sehat karena dekat dengan tumpukan sampah." Kataku menjelaskan.
" Aku itdak menyangka, ternyata di ibu kota yang terlihat sangat megah, ada orang-orang yang hidup sedemikian pilunya." Lanjutku.
Tidak lama, kami mengakhiri pembicaraan tentang mereka. Dia mengeluarkan sebuah kantong, kemudian membukanya. Yang ternyata isinya beberapa plastik penuh dengan pil. Itu obat-obatan yang kulihat di mejanya, kemarin malam. Dia mulai meracik obat dengan jarum suntiknya. Kemudian menyuntikannya ke tangannya. Aku hanya diam memperhatikan. Sakit apa dia sebenarnya, tanyaku dalam hati. Aku tidak berani bertanya, aku hanya menunggunya untuk menjelaskan semuanya. Jika memang dia tidak mau menjelaskan, aku tidak akan memaksa.
" Sini tanganmu, coba ini, kau akan tenang." Pintanya padaku dengan menyodorkan jarum suntiknya.
" Aku? Aku tidak sakit." Jawabku heran.
" Apa aku terlihat sakit? " Tanyanya kemudian.
" Oh tidak, aku tidak tahu. Maksudnya bagaimana?" Tanyaku semakin bingung.
Dia tertawa lepas, tampak bahagia, namun sorot matanya seperti memiliki beban yang berat. Aku tidak mengerti apa yang terjadi padanya.
Hari hampir pagi, kulihat matahari sudah mulai menampakkan sinarnya. Kami tidak terpejam sebentarpun semalaman. Untung saja hari ini hari Minggu, kami libur kerja. Tapi di sela rasa kantuk kami yang sudah tidak tertahan, terdengar langkah bberapa orang menuju ke kereta ini. Aku langsung terbelalak, kami saling pandang. Dia mengemasi semua obat-obatnya dan mengajakku untuk segera pergi.
Tak butuh waktu lama, mereka menemukan kami. Membawa kami masuk ke sebuah kendaraan tertutup. Jantungku terus berdegup kencang, tapi rasanya tubuhku seperti melayang, pusing sekali kepalaku, mungkin karena aku tidak tidur semalaman. Aku hanya menurut saja apa yang mereka perintahkan, yang pasti aku masih bersama Bara, aku merasa lebih aman.
Sampailah kami di sebuah kantor, yang kutahu ini sepertinya kantor polisi. Banyak polisi berjaga dan beberapa orang yang duduk lemas diinterogasi. Aku akan menjadi salah satunya.
" Sejak kapan kau menggunakan obat-obatan ini?" Salah satu pertanyaan dari seorang polisi di depanku. Dia terus bertanya, sembari mengetik, sepertinya dia mengetik semua jawaban dariku. Aku masih tidak mengerti, menahan kantuk yang sangat membuatku tidak bisa mendengar jelas pertanyaannya. Hingga selesai polisi itu menanyaiku. Aku dibawa ke dalam sebuah ruangan, sendiri. Aku mulai resah karena tidak lagi bisa melihat Bara. Aku duduk di lantai dan kusandarkan kepalaku di dinding, tertidur.
Suara lantang meneriakiku hingga membuatku terbangun. Dia, perempuan dengan badan besar dan tegap, menggunakan seragam polisi lengkap, dengan muka kaku tanpa senyum, memaksaku untuk berganti pakaian dengan pakaian yang dia bawa. Aku hanya bisa menuruti. Masih diam dan mencoba mengerti aku kenapa, dimana dan sedang apa, mana Bara, itu pertanyaan yang muncul di pikiranku. Tapi aku tidak berani menanyakannya.
Aku dibawa ke ruang jeruji, setelah selesai mengenakan pakaian tadi. Kulihat semua perempuan di balik jeruji itu juga menggunakan pakaian yang sama denganku.
Oh Tuhan, aku di penjara. Mungkin ini hidupku, yang layak untukku.
=======================================================================================
(SELESAI)
catatanatiqoh, 02 November 2019
#TantanganPekan8(Bag.5-Selesai)
#OneDayOnePost
#KomunitasODOP
#ODOPBatch7
=============================================================================
Dia masih memandangku, aku terdiam lama, dan menunduk. Mungkin wajahku sudah merah padam. Aku tidak tahu perasaan apa ini. Tapi aku sangat bahagia. Tidak lama, aku memutuskan untuk menatapnya dalam, dengan penuh arti, jika aku juga mau terus ada di dekatnya.
Waktu sudah hampir siang, kami kembali melanjutkan pekerjaan kami. Aku melihatnya banyak terdiam hari ini. Seperti memikirkan sesuatu yang serius, tapi aku tidak berani mengganggunya.
Hari ini kami semua kerja lembur. Sampai pukul sebelas malam, belum juga ada seseorang di kantor yang berpamitan untuk pulang, masih serius sibuk dengan pekerjaannya, termasuk aku dan Bara. Kami sibuk masing-masing. Sudah tidak bertegur sapa lagi sejak tadi terakhir makan sore bersama. Aku pun sudah tidak sempat memperhatikannya.
Hampir pukul dua dini hari, akhirnya kami, aku dan Bara berpamitan pulang. Masih ada beberapa yang tinggal disini, mungkin menunggu sampai pagi. Bara mengajakku mampir ke kereta keempat. Dia terlihat begitu semangat untuk mengajakku kesana. Jalannya sudah sedikit berlari, karena takut ketahuan atau mungkin sudah tidak sabar. Aku mengikutinya santai.
" Seru kan?" Tanyanya kemudian setelah kami sampai di gerbong yang gelap, hanya disinari lampu-lampu jalan di luar stasiun.
Aku hanya memandangi sekitar, lebih ke arah seram kalau menurutku, tapi aku diam saja. Aku duduk di kursi tempat kami biasa duduk. Dia masih menempelkan wajahnya di jendela, memandangi pemukiman yang sudah mulai ramai di pagi buta ini. Tampak ibu-ibu mulai mencuci pakaian, bapak-bapak menyiapkan motor kendaraannya untuk berbelanja ke pasar, membawa karung dan keranjang. Belum terdengar suara anak-anak, pasti mereka masih lelap tertidur. Aku tidak begitu tertarik sebetulnya. Aku lebih tertarik dengan seseorang yang begitu tertarik dengan pemandangan itu. Bara memperhatikannya serius. Lama, hampir satu jam kami hanya diam, sibuk dengan pandangan kami masing-masing. Dia memandang ke luar jendela kereta, dan aku memandanginya, mencoba membaca pikirannya.
" Apa aku akan punya kehidupan seperti itu?' Tanyanya memecah sunyi.
" Kehidupan yang bagaimana?" Balasku bertanya.
" Mereka, sangat sibuk dengan dunianya. Dunia yang sederhana hanya demi sesuap nasi, untuk anak-anaknya. Begitu tulus aku melihatnya, meski jauh dari kemewahan." Ceritanya.
" Berdoalah dan berharap kehidupan kita lebih baik dari mereka." Kataku menanggapi.
" Kenapa harus lebih baik dari mereka?" Tanyanya lagi.
" Karena aku mau melahirkan generasi yang lebih baik kehidupannya. Tidak perlu bersusah payah di area pemukiman yang kurang layak. Yang kurang sehat karena dekat dengan tumpukan sampah." Kataku menjelaskan.
" Aku itdak menyangka, ternyata di ibu kota yang terlihat sangat megah, ada orang-orang yang hidup sedemikian pilunya." Lanjutku.
Tidak lama, kami mengakhiri pembicaraan tentang mereka. Dia mengeluarkan sebuah kantong, kemudian membukanya. Yang ternyata isinya beberapa plastik penuh dengan pil. Itu obat-obatan yang kulihat di mejanya, kemarin malam. Dia mulai meracik obat dengan jarum suntiknya. Kemudian menyuntikannya ke tangannya. Aku hanya diam memperhatikan. Sakit apa dia sebenarnya, tanyaku dalam hati. Aku tidak berani bertanya, aku hanya menunggunya untuk menjelaskan semuanya. Jika memang dia tidak mau menjelaskan, aku tidak akan memaksa.
" Sini tanganmu, coba ini, kau akan tenang." Pintanya padaku dengan menyodorkan jarum suntiknya.
" Aku? Aku tidak sakit." Jawabku heran.
" Apa aku terlihat sakit? " Tanyanya kemudian.
" Oh tidak, aku tidak tahu. Maksudnya bagaimana?" Tanyaku semakin bingung.
Dia tertawa lepas, tampak bahagia, namun sorot matanya seperti memiliki beban yang berat. Aku tidak mengerti apa yang terjadi padanya.
Hari hampir pagi, kulihat matahari sudah mulai menampakkan sinarnya. Kami tidak terpejam sebentarpun semalaman. Untung saja hari ini hari Minggu, kami libur kerja. Tapi di sela rasa kantuk kami yang sudah tidak tertahan, terdengar langkah bberapa orang menuju ke kereta ini. Aku langsung terbelalak, kami saling pandang. Dia mengemasi semua obat-obatnya dan mengajakku untuk segera pergi.
Tak butuh waktu lama, mereka menemukan kami. Membawa kami masuk ke sebuah kendaraan tertutup. Jantungku terus berdegup kencang, tapi rasanya tubuhku seperti melayang, pusing sekali kepalaku, mungkin karena aku tidak tidur semalaman. Aku hanya menurut saja apa yang mereka perintahkan, yang pasti aku masih bersama Bara, aku merasa lebih aman.
Sampailah kami di sebuah kantor, yang kutahu ini sepertinya kantor polisi. Banyak polisi berjaga dan beberapa orang yang duduk lemas diinterogasi. Aku akan menjadi salah satunya.
" Sejak kapan kau menggunakan obat-obatan ini?" Salah satu pertanyaan dari seorang polisi di depanku. Dia terus bertanya, sembari mengetik, sepertinya dia mengetik semua jawaban dariku. Aku masih tidak mengerti, menahan kantuk yang sangat membuatku tidak bisa mendengar jelas pertanyaannya. Hingga selesai polisi itu menanyaiku. Aku dibawa ke dalam sebuah ruangan, sendiri. Aku mulai resah karena tidak lagi bisa melihat Bara. Aku duduk di lantai dan kusandarkan kepalaku di dinding, tertidur.
Suara lantang meneriakiku hingga membuatku terbangun. Dia, perempuan dengan badan besar dan tegap, menggunakan seragam polisi lengkap, dengan muka kaku tanpa senyum, memaksaku untuk berganti pakaian dengan pakaian yang dia bawa. Aku hanya bisa menuruti. Masih diam dan mencoba mengerti aku kenapa, dimana dan sedang apa, mana Bara, itu pertanyaan yang muncul di pikiranku. Tapi aku tidak berani menanyakannya.
Aku dibawa ke ruang jeruji, setelah selesai mengenakan pakaian tadi. Kulihat semua perempuan di balik jeruji itu juga menggunakan pakaian yang sama denganku.
Oh Tuhan, aku di penjara. Mungkin ini hidupku, yang layak untukku.
=======================================================================================
(SELESAI)
catatanatiqoh, 02 November 2019
#TantanganPekan8(Bag.5-Selesai)
#OneDayOnePost
#KomunitasODOP
#ODOPBatch7
Kasihan Ningrum...
BalasHapushehehee dunia begitu keras *eh
HapusBagus tulisannya ^^
BalasHapusterima kasih sudah mampir membaca :)
Hapus