Segelas Beras Kencur - Sebuah Cerpen
Ember berisi air itu bergoyang. Mengikuti irama langkah kaki yang mendorong gerobak. Sedikit tertumpah. Menimbulkan suara beling gelas yang beradu.
Tangannya halus penuh peluh, namun sunggingan senyumnya tetap manis dilihat. Dengan suara halus merdu melantunkan nada khas jamu jualannya. Pagi masih temaram saat dia kemasi botol-botol jamu ke gerobaknya. Sapaan ayam di pagi hari selalu menemaninya berangkat mengais rejeki. Bukan lagi soal mimpi, yang penting ada untuk makan besok pagi. Setiap rumah didatangi, meski hanya untuk segelas beras kencur.
Ayu namanya. Sudah hampir empat puluh tahun dan masih melajang. Bukan tidak mau dipinang, tapi banyak yang datang hanya untuk hiburan. Lebih baik menanti yang pasti, begitu yang dipikirkan.
"Beras kencur ya mbak ayu," pinta salah satu pelanggannya.
"Nggih mas." jawab ayu sembari menyiapkan gelas.
"Berangkat jam berapa tadi mbak?" tanya si pelanggan.
"Saya dari jam lima mas mulai dorong gerobak, biar gak kesiangan." jawab ayu.
Terus dia susuri jalanan, menjajakan jamu jualannya. Bukan dia memang yang meramunya. Neneknya yang tinggal dengannya yang membuat jamu setiap malam, untuk dia jual paginya. Ramuan turun temurun dari keluarganya dan masih asli, rasanya khas membuat pelanggan selalu menanti.
Tomo, pelanggan satu ini selalu menunggu kedatangannya sebelum berangkat kerja. Segelas beras kencur sudah pasti jadi idola. Tidak pahit tapi segar jadi terasa. Ditambah dengan jahe hangat untuk penutup. Lalu senyuman manis mbak ayu yang selalu menggodanya.
========================================================================
Sudah lama aku jadi penikmat jamu jualan Ayu. Bukan hanya karena memang aku menyukai jamu, tapi juga menyukai mbak Ayu, si penjual jamu. Awalnya hanya perasaan kagum saja, dengan sosok wanita yang kuat dan mandiri. Namun ternyata, perasaan terus terpikirkan, sampai aku tak sadar jika selalu menantikan kedatangannya.
Namaku Tomo, aku sudah hampir tiga puluh tahun, dan masih melajang. Bukan tidak mau meminang, tapi banyak yang kutemui hanya cocok menjadi hiburan. Sudah bosan memang, rasanya ingin segera ada satu tepat yang datang. Sudah pasti langsung kupinang.
Hari ini Ayu datang agak siang. Aku sampai menunda ke kantor hanya untuk menunggunya. Seperti ada yang kurang jika tak kudengar suara merdunya, apalagi melihat senyumnya. Hampir enam bulan ini aku merasakan ada yang berbeda. Benar saja, aku mulai memikirkannya. Godaannya, sapaannya, dan tentu jamunya. Mungkin saja dia menaruhkan sesuatu di jamunya, hingga membuatku seperti benar-benar tergoda. Hehe... itu hanya pikiran nakalku saja.
"Dari mana saja mbak, sudah siang lho," sapaku saat akhirnya aku melihat sosok Ayu.
"Ada gangguan mas, saya jadi takut buat jualan." jawabnya dengan nada agak cemas.
Memang raut wajahnya nampak gugup, tidak seceria biasanya. Aku pun mendadak khawatir, apa yang terjadi dengannya. Kupancing beberapa pertanyaan, agar tak terlihat aku terlalu mengkhawatirkannya. Dia mulai menceritakan semuanya, dan sungguh aku tidak bisa hanya diam untuk hal ini. Aku sampaikan kalau aku benar-benar menjadi khawatir tentang dia. Meski awalnya dia sungkan menerima tawaranku untuk menemaninya berjualan hari ini, tapi tersirat jelas kalau dia seperti membutuhkannya.
"Sudah mbak, gak apa-apa, aku bisa ijin kerja satu hari ini." pintaku dengan tenang, seolah hanya permintaan basa-basi saja.
"Tapi mas, aku jadi gak enak lho kalo merepotkan." jawab Ayu malu.
"Aku tidak merasa direpotkan kok." jawabku serius.
"Yasudah apa boleh buat, karena saya memang benar-benar takut mas." jawabnya lagi dengan muka memerah malu dan gugup.
"Mari saya ikuti dari belakang." ajakku kemudian.
Dia terus melanjutkan perjalanan, dari rumah ke rumah menjajakan jamu. Aku ikut di belakang, tampak seperti sedang mencari pekerjaan. Berjalan melenggang dengan dandanan rapi karena tadi aku tak sempat ganti.
Hari sudah hampir siang, jualannya sudah sisa sedikit. Aku menghampiri dan menawarkan untuk mengantarkannya pulang. Dia menyetujui. Kami berjalan bersisihan, dengan banyak bahan untuk diperbincangkan. Aku sudah lama menaruh harap, pada sosok perempuan yang tidak hanya sekedar pintar dandan. Ayu, dia nampaknya perempuan itu. Wajahnya yang masih halus lugu meski katanya dia sudah empat puluh tahun. Hampir saja aku dibuat tak percaya, sampai dia menunjukkan kartu identitasnya.
Aku terus menggodanya, sepanjang jalan berharap tak ada ujungnya, agar bisa begini terus tanpa merasakan kemudian perasaanku apakah akan pupus.
Sampailah di ujung jalan dengan penuh pohon berjejeran. Tak nampak ada rumah tinggal satupun. Dia menunjuk kalau rumahnya ada di belakang deretan pohon itu. Aku tak percaya, hampir separuh bulu kudukku bergidik, karena sungguh aku tak melihat satu pun bangunan rumah setelahnya. Namun tanpa pikir panjang, demi perempuan yang aku kuat hati ingin meminangnya, kuputuskan tetap menemaninya sampai depan pintu rumah. Bila perlu langsung kulamar ke kedua orang tuanya.
Panjang dan lama terasa menyusuri jalan ini. Sepanjang jalan dengan tepian pohon-pohon besar yang lebat, hampir sinar matahari tak mampu menembus meski sedang tengah hari terik. Aku mulai menyelidik, tempat apa ini sebenarnya. Selama hidupku, baru saja aku sampai di tempat ini, yang seharusnya tidak terlalu jauh dengan tempat tinggalku selama ini.
"Kamu haus tidak mas Tomo?" pertanyaannya kemudian mengagetkanku.
"Oh, iya boleh beras kencurnya kalau masih ada mbak." pintaku tanpa basa-basi.
Dia menyodorkan segelas beras kencur, dengan tambahan jahe hangat yang kemudian langsung kuhabiskan. Tak lama aku tersadar, aku berada di sekeliling makam tua yang sudah tidak terawat. Bau hanyir tiba-tiba kuhirup dalam. Dan aku tak lagi menemukan sosok Ayu disebelahku. Hanya gerobaknya dan botol-botol jamunya yang kembali utuh.
catatanatiqoh, 26 Oktober 2019
#OneDayOnePost
#KomunitasODOP
#ODOPBatch7
Tangannya halus penuh peluh, namun sunggingan senyumnya tetap manis dilihat. Dengan suara halus merdu melantunkan nada khas jamu jualannya. Pagi masih temaram saat dia kemasi botol-botol jamu ke gerobaknya. Sapaan ayam di pagi hari selalu menemaninya berangkat mengais rejeki. Bukan lagi soal mimpi, yang penting ada untuk makan besok pagi. Setiap rumah didatangi, meski hanya untuk segelas beras kencur.
Ayu namanya. Sudah hampir empat puluh tahun dan masih melajang. Bukan tidak mau dipinang, tapi banyak yang datang hanya untuk hiburan. Lebih baik menanti yang pasti, begitu yang dipikirkan.
"Beras kencur ya mbak ayu," pinta salah satu pelanggannya.
"Nggih mas." jawab ayu sembari menyiapkan gelas.
"Berangkat jam berapa tadi mbak?" tanya si pelanggan.
"Saya dari jam lima mas mulai dorong gerobak, biar gak kesiangan." jawab ayu.
Terus dia susuri jalanan, menjajakan jamu jualannya. Bukan dia memang yang meramunya. Neneknya yang tinggal dengannya yang membuat jamu setiap malam, untuk dia jual paginya. Ramuan turun temurun dari keluarganya dan masih asli, rasanya khas membuat pelanggan selalu menanti.
Tomo, pelanggan satu ini selalu menunggu kedatangannya sebelum berangkat kerja. Segelas beras kencur sudah pasti jadi idola. Tidak pahit tapi segar jadi terasa. Ditambah dengan jahe hangat untuk penutup. Lalu senyuman manis mbak ayu yang selalu menggodanya.
========================================================================
Sudah lama aku jadi penikmat jamu jualan Ayu. Bukan hanya karena memang aku menyukai jamu, tapi juga menyukai mbak Ayu, si penjual jamu. Awalnya hanya perasaan kagum saja, dengan sosok wanita yang kuat dan mandiri. Namun ternyata, perasaan terus terpikirkan, sampai aku tak sadar jika selalu menantikan kedatangannya.
Namaku Tomo, aku sudah hampir tiga puluh tahun, dan masih melajang. Bukan tidak mau meminang, tapi banyak yang kutemui hanya cocok menjadi hiburan. Sudah bosan memang, rasanya ingin segera ada satu tepat yang datang. Sudah pasti langsung kupinang.
Hari ini Ayu datang agak siang. Aku sampai menunda ke kantor hanya untuk menunggunya. Seperti ada yang kurang jika tak kudengar suara merdunya, apalagi melihat senyumnya. Hampir enam bulan ini aku merasakan ada yang berbeda. Benar saja, aku mulai memikirkannya. Godaannya, sapaannya, dan tentu jamunya. Mungkin saja dia menaruhkan sesuatu di jamunya, hingga membuatku seperti benar-benar tergoda. Hehe... itu hanya pikiran nakalku saja.
"Dari mana saja mbak, sudah siang lho," sapaku saat akhirnya aku melihat sosok Ayu.
"Ada gangguan mas, saya jadi takut buat jualan." jawabnya dengan nada agak cemas.
Memang raut wajahnya nampak gugup, tidak seceria biasanya. Aku pun mendadak khawatir, apa yang terjadi dengannya. Kupancing beberapa pertanyaan, agar tak terlihat aku terlalu mengkhawatirkannya. Dia mulai menceritakan semuanya, dan sungguh aku tidak bisa hanya diam untuk hal ini. Aku sampaikan kalau aku benar-benar menjadi khawatir tentang dia. Meski awalnya dia sungkan menerima tawaranku untuk menemaninya berjualan hari ini, tapi tersirat jelas kalau dia seperti membutuhkannya.
"Sudah mbak, gak apa-apa, aku bisa ijin kerja satu hari ini." pintaku dengan tenang, seolah hanya permintaan basa-basi saja.
"Tapi mas, aku jadi gak enak lho kalo merepotkan." jawab Ayu malu.
"Aku tidak merasa direpotkan kok." jawabku serius.
"Yasudah apa boleh buat, karena saya memang benar-benar takut mas." jawabnya lagi dengan muka memerah malu dan gugup.
"Mari saya ikuti dari belakang." ajakku kemudian.
Dia terus melanjutkan perjalanan, dari rumah ke rumah menjajakan jamu. Aku ikut di belakang, tampak seperti sedang mencari pekerjaan. Berjalan melenggang dengan dandanan rapi karena tadi aku tak sempat ganti.
Hari sudah hampir siang, jualannya sudah sisa sedikit. Aku menghampiri dan menawarkan untuk mengantarkannya pulang. Dia menyetujui. Kami berjalan bersisihan, dengan banyak bahan untuk diperbincangkan. Aku sudah lama menaruh harap, pada sosok perempuan yang tidak hanya sekedar pintar dandan. Ayu, dia nampaknya perempuan itu. Wajahnya yang masih halus lugu meski katanya dia sudah empat puluh tahun. Hampir saja aku dibuat tak percaya, sampai dia menunjukkan kartu identitasnya.
Aku terus menggodanya, sepanjang jalan berharap tak ada ujungnya, agar bisa begini terus tanpa merasakan kemudian perasaanku apakah akan pupus.
Sampailah di ujung jalan dengan penuh pohon berjejeran. Tak nampak ada rumah tinggal satupun. Dia menunjuk kalau rumahnya ada di belakang deretan pohon itu. Aku tak percaya, hampir separuh bulu kudukku bergidik, karena sungguh aku tak melihat satu pun bangunan rumah setelahnya. Namun tanpa pikir panjang, demi perempuan yang aku kuat hati ingin meminangnya, kuputuskan tetap menemaninya sampai depan pintu rumah. Bila perlu langsung kulamar ke kedua orang tuanya.
Panjang dan lama terasa menyusuri jalan ini. Sepanjang jalan dengan tepian pohon-pohon besar yang lebat, hampir sinar matahari tak mampu menembus meski sedang tengah hari terik. Aku mulai menyelidik, tempat apa ini sebenarnya. Selama hidupku, baru saja aku sampai di tempat ini, yang seharusnya tidak terlalu jauh dengan tempat tinggalku selama ini.
"Kamu haus tidak mas Tomo?" pertanyaannya kemudian mengagetkanku.
"Oh, iya boleh beras kencurnya kalau masih ada mbak." pintaku tanpa basa-basi.
Dia menyodorkan segelas beras kencur, dengan tambahan jahe hangat yang kemudian langsung kuhabiskan. Tak lama aku tersadar, aku berada di sekeliling makam tua yang sudah tidak terawat. Bau hanyir tiba-tiba kuhirup dalam. Dan aku tak lagi menemukan sosok Ayu disebelahku. Hanya gerobaknya dan botol-botol jamunya yang kembali utuh.
catatanatiqoh, 26 Oktober 2019
#OneDayOnePost
#KomunitasODOP
#ODOPBatch7
Waaah keren sekali ini
BalasHapusterima kasih sudah mampir membaca kak :)
HapusKox ngeri ya hehhe
BalasHapushehehe... iseng aja ini akhir ceritanya dibuat ngeri :)
HapusJadi merinding bacanya ^^
BalasHapushaha saya pun merinding pas mikirin endingnya, dan jd kepikiran terus :D
HapusAyu ayubkok hantu
BalasHapusoh hantu kah dia kak? hehehe
HapusBagus mbak cerpennya
BalasHapusBagus sekaligus bikin merinding pas di akhir cerita. Semangat menulis mbak.....
Hapuswah terima kasih kak sudah mampir membaca :)
HapusAutokebayang dong...😢
BalasHapushihiii selamat berkenalan dengan ayu si tukang jamu :)
HapusMau ada lanjutannya🙁
BalasHapusspertinya tidak kak, begitu saja biar penasaran :)
HapusKeren...
BalasHapusDimanakah ayu?
Adakah kelanjutannya?
hehee dimana hayoo? :)
Hapussepertinya tidak akan ada kelanjutannya hehe, biar penasaran :)
Mantap Kakak, keren sekali tulisannya #semangat
BalasHapusterima kasih Pak sudah mampir membaca :)
HapusBagus tulisannya ^^
BalasHapusterima kasih sudah mampir membaca :)
HapusOh.. My God. Diluar prediksi alurnya. Kupikir akan ke arah romantisme... Ternyata horror 😬😬. Keren Kak!
BalasHapushehehee... kejutan :) terima kasih sudah mampir membaca kak :)
HapusEndingnya itu loh😂
BalasHapushihiii... memang kenapa ya? :D
Hapus