"Seperti menggelitik
saat tahu ternyata aku tak dilirik. Puluhan kali mematut diri di depan
cermin. Nyatanya tetap saja, bukan aku yang ditarik."
Puisinya selalu jadi primadona para pembaca majalah dinding di SMA
28. Tempatnya menuntut ilmu yang bergengsi. Kumpulan para anak pejabat tinggi.
Tapi apalah dia, hanya seorang anak tukang cuci. Ayahnya tiap pagi tak pernah
peduli, dia mau ke sekolah atau tidur lagi.
Teman-temannya tampak tak tertarik. Dia sudah berusaha dandan agar
cantik. Tetap tak ada yang melirik. Payahnya lagi, tak satupun yang jadi mau
untuk berteman baik. Seperti kambing dalam kandang itik. Apalah dia, bukan jadi
idola yang punya bakat menarik.
Tapi dia terus berkarya, hingga tak satupun orang tahu. Karyanya
terus jadi idola, meski dia tak harus tampak di muka. Selalu dia berikan dengan
hati, agar orang-orang tahu, yang menarik tak hanya dilihat dari fisik.
Hampir dua puluh kali karyanya selalu jadi perbincangan. Sudah
banyak diambil dan dibuat jadi saduran. Tapi tetap dia tak ingin orang tahu.
Ada rasa takut yang lebih besar, yang membuatnya selalu gusar. Jika nanti semua
tahu, apa yang terjadi denganku, pikirnya selalu begitu. Meski sebenarnya dia
penasaran untuk menjadi satu bintang yang diagungkan. Bukan karena fisiknya,
materinya, atau tingkah lakunya, tapi hanya sekedar untuk karyanya saja.
Pelan dia membuat keputusan. Aku akan membuka semuanya untuk orang
tahu. Tapi ternyata tak semudah itu.
Pagi itu, dia benar ingin semua orang menjadi tahu. Siapakah
dibalik karya yang selalu menjadi agung itu. Dia juga mau menjadi yang
diagungkan seperti karyanya. Dia tuliskan nama pendeknya dihasil karyanya hari
itu. Dia menanti akan ada berapa orang yang kemudian menyalaminya. Merangkulnya
dan memberinya senyuman tulus. Dia berharap akan banyak yang kemudian
mengajaknya berteman akrab.
Ternyata harapan itu hanya impian. Benar saja apa yang
ditakutkannya. Semua bentuk reaksi yang diharapkannya tak ada. Yang ada hanya
cibiran, hingga makian. Dia pun tak kuasa untuk menjauh mengeluarkan segala
peluh yang menyesakkan.
"Perhatikan
Aku! Aku juga manusia, seperti kalian. Sama hak ku dan hak
kalian. Ingin menuntut ilmu dan berkarya secara terbuka. Membaur dan
berbagi sayang dengan sesama. Tapi ternyata aku tak
diharapkan. Mungkin tempatku salah. Jadi lebih baik aku
mengalah. Besok aku akan pergi. Agar tak ada lagi sosok yang membuat
kalian merasa rugi."
Begitu puisi terakhirnya. Dia tempelkan disegala penjuru tempat.
Dia tuliskan besar-besar agar mudah terlihat. Kemudian dia benar-benar pergi
selamanya. Di belakang kantin tempat favoritnya menghaliskan puluhan karya. Dia
duduk lemas tak berdaya. Setelah menenggak sebotol racun serangga.
#Hutangtulisan011019
#OneDayOnePost
#KomunitasODOP
#ODOPBatch7
apakah ini kisah nyata kak atiqoh? aku suka cara kakak menggambarkan tulisannya, mengalir.. tetap berkarya kak :)
BalasHapushihiii hanyalah fiktif belaka kak :)
HapusKeren sekali kak, mengalir
BalasHapusterima kasih sudah menyempatkan untuk membaca :)
HapusKeren sekali kak
BalasHapusterima kasih sudah menyempatkan untuk membaca :)
HapusBagus tulisannya ^^
BalasHapusterima kasih :)
HapusYa, kok dia menyerah ya padahal kan masih punya banyak waktu untuk berjuang ðŸ˜
BalasHapushihiii... itulah, kadang lingkungan yang terllau negatif menyudutkan diri yang sudah terlalu rendah diri hehehe
Hapus