Dua Puluh Tahun - Sebuah Cerpen
Sudah dua puluh tahun berlalu, aku tidak menemui kampung halamanku. Tempatku bermain dulu, dengan segala kejayaan di masa itu. Aku ragu saat harus kembali lagi. Menyusuri kenangan-kenangan yang masih teringat jelas di ingatan. Sekarang usiaku sudah masuk kepala empat. Dan aku masih sendiri.
Akan banyak pertanyaan pasti, dari yang peduli sampai yang hanya basa basi. Sekiranya satu yang pasti, kapan aku membawa istri.
Saat itu, usiaku akan memasuki dua puluh tahun. Aku memutuskan untuk pergi meninggalkan segala yang kupunya dan keluarga. Tak ada tujuan dan kata perpisahan. Kepada siapapun. Aku hanya membawa diriku, dengan baju lusuh yang kupakai dan sepatu tali yang sudah tak layak. Kususuri jalan sampai ke Ibu Kota.
Kini aku sudah hidup nyaman di Ibu Kota. Bersahabat nyata dengan debu jalanan. Terkadang, ukuran nyaman memang beda-beda setiap orang. Jadi aku tak pernah pedulikan. Tapi aku nyaman saja, ya begini. Tidur dialasi kardus berjejer rapi yang kudapat dari memunguti di siang hari. Makan seadanya, adanya orang akan melempariku dengan apa. Minum pun sekenyangnya, tinggal ciduk di kubangan air menggenang penuh tumpukan sampah.
Akulah orangnya, yang dulu selalu diharapkan jadi guru oleh orang tuaku. Tapi tak kuhiraukan. Entah apa yang membuatku terbawa arus hingga ke Ibu Kota. Tak pernah ada harapan yang lebih baik sepertinya. Tapi herannya aku masih saja bertahan. Mungkin aku sedang jatuh cinta. Jatuh cinta pada keadaan. Dan kini aku sedang patah hati, karena cintaku sudah diremuk oleh keadaan ini sekarang.
Dua puluh tahun juga aku menanti. Sang dewi yang kukira akan mengerti. Tapi nyatanya sampai kini, meski dia sudah sendiri lagi, tetap saja masih tak punya hati. Jadi untuk apa sebenarnya aku tetap menanti?
Kuputuskan aku akan pulang lagi. Pulang ke kampung halamanku. Pulang kembali ke sujud orang tuaku. Seperti halnya dua puluh tahun lalu. Yang kerjaku hanya memohon dan menyembah sujud pada orang tuaku, hanya demi kamu, yang tak pernah mengerti bahwa sedang kutunggu.
Catatanatiqoh, 16 Oktober 2019
Akan banyak pertanyaan pasti, dari yang peduli sampai yang hanya basa basi. Sekiranya satu yang pasti, kapan aku membawa istri.
Saat itu, usiaku akan memasuki dua puluh tahun. Aku memutuskan untuk pergi meninggalkan segala yang kupunya dan keluarga. Tak ada tujuan dan kata perpisahan. Kepada siapapun. Aku hanya membawa diriku, dengan baju lusuh yang kupakai dan sepatu tali yang sudah tak layak. Kususuri jalan sampai ke Ibu Kota.
Kini aku sudah hidup nyaman di Ibu Kota. Bersahabat nyata dengan debu jalanan. Terkadang, ukuran nyaman memang beda-beda setiap orang. Jadi aku tak pernah pedulikan. Tapi aku nyaman saja, ya begini. Tidur dialasi kardus berjejer rapi yang kudapat dari memunguti di siang hari. Makan seadanya, adanya orang akan melempariku dengan apa. Minum pun sekenyangnya, tinggal ciduk di kubangan air menggenang penuh tumpukan sampah.
Akulah orangnya, yang dulu selalu diharapkan jadi guru oleh orang tuaku. Tapi tak kuhiraukan. Entah apa yang membuatku terbawa arus hingga ke Ibu Kota. Tak pernah ada harapan yang lebih baik sepertinya. Tapi herannya aku masih saja bertahan. Mungkin aku sedang jatuh cinta. Jatuh cinta pada keadaan. Dan kini aku sedang patah hati, karena cintaku sudah diremuk oleh keadaan ini sekarang.
Dua puluh tahun juga aku menanti. Sang dewi yang kukira akan mengerti. Tapi nyatanya sampai kini, meski dia sudah sendiri lagi, tetap saja masih tak punya hati. Jadi untuk apa sebenarnya aku tetap menanti?
Kuputuskan aku akan pulang lagi. Pulang ke kampung halamanku. Pulang kembali ke sujud orang tuaku. Seperti halnya dua puluh tahun lalu. Yang kerjaku hanya memohon dan menyembah sujud pada orang tuaku, hanya demi kamu, yang tak pernah mengerti bahwa sedang kutunggu.
Catatanatiqoh, 16 Oktober 2019
#OneDayOnePost
#KomunitasODOP
#ODOPBatch7
aku selalu suka sama tulisanmu mbak...😊😊😊, semangat menginspirasi
BalasHapushihii makasih mbak sudah mampir :)
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusMantap Kakak keren sekali #semangat
BalasHapusSemangat jg Pak
HapusAh kakak selalu keren
BalasHapushihiii, terima kasih kak sudah mampir membaca :)
Hapusdalam sekali.
BalasHapushehe kaya sumur yah dalam :)
HapusKondisi hidup yang tak sesuai harapan selalu menyisakan kesedihan mendalam
BalasHapustapi harapan setiap orang memang beda-beda hehehe..
HapusBagus tulisannya ^^
BalasHapusterima kasih kak sudah mampir membaca :)
HapusBagus sekali tulisannya kakak 🤗
BalasHapusterima kasih sudah menyempatkan membaca :)
HapusBagus selalu tulisannnya mba:))
BalasHapusterima kasih kak sudah mampir membaca :)
Hapus