Lama juga Biasa
Cuma kamu! Orang pertama yang (selalu) membuat saya menunggu! Dengan segala alasan yang kamu punya, kamu selalu bisa membuatku tersenyum setelah penat menunggu. Entah untuk alasan apapun, semua penghuni bumi juga tidak hobi menunggu, rasa-rasanya detik jarum jam bakal terlambat berputar. Seperti halnya mereka, aku juga penghuni bumi yang tak suka menunggu. Untuk urusan apapun!
Tanpa sadar, dua jam, tiga jam, bahkan lebih dari lima jam berlalu. Dan rasanya, sudah pasti mampu membuat lebar perifer nadi melebar! Emosi tingkat dewa. Aku tak mampu berjanji pada diri sendiri bahwa semua akan baik-baik saja saat menunggu. Dari semua hal, sekecil apapun, menunggu itu menjemukan. Aku tak biasa melakukannya. Bahkan memilih enggan untuk melakukannya.
Dan kamu, dengan sopannya membuatku menunggu, berjam-jam, berkali-kali, berulang, tanpa bosan. Dan aku, dengan baik hatinya mau menunggu, berjam-jam, berkali-kali, berulang, tanpa bosan. Tentu saja ini berproses dengan sangat amat rumit. Harus kuperdalam dulu ilmu menunggu. Perlu kesabaran mengusap peluh keringat yang berkejar-kejaran membasahi. Perlu kesabaran memandangi jarum jam yang mendadak enggan berputar. Perlu kesabaran melihat orang berlalu lalang hingga berulang kali. Dan aku, masih terpaku pada satu waktu, menunggu! Awalnya begitu.
Lama bersama, dan tetap saja, kau selalu teramat manis untuk ditunggu. Ilmu menunggu mulai berkembang, meski beragam spekulasi perkiraan negatif dan kekesalan hati yang memuncah meleburkan hati nurani menjadi linangan air mata. Aku masih saja dengan manisnya menunggu kamu yang terlalu manis untuk tak ditunggu. Pekerjaan yang sulit, namun aku nampaknya mulai menjadi terbiasa. Mungkin sekarang, aku menjadi orang pertama penghuni bumi ini yang mulai menyukai hobi menunggu. Apapun itu alasannya, asal untuk kamu!
Menjadi sesuatu yang biasa karena sudah terbiasa. Meski terkadang umpatan dalam hati masih sering mengotori. Menunggu kini menjadi makanan sehari-hari. Mulai pagi menungguimu membuka mata, menungguimu ini, itu, dan lain-lainnya. Aku lebih berpikir keras untuk mengolah hobi menunggu ini menjadi sesuatu yang menjanjikan. Kalau memungkinkan, bisa saja aku sambil beternak hewan kesayangan, atau melipat daun-daun sirih untuk menginang. Agar diibaratkan, sekali usapan peluh menunggu itu tak sia-sia.
Kesabaranku mengusap peluh keringat, kini menjadi tumpahan ide-ide segar dari otak yang meleleh. Kesabaranku memandangi jarum jam, kini menjadi sabar mengamati alam, mengamati apa-apa di sekitar, mengolahnya dan mencetaknya menjadi berbagai cerita menakjubkan. Kesabaranku melihat orang berlalulalang berulang kali, kini menjadi peka untuk melihat pada sesama. Menunggu itu ternyata tak selamanya menjadi pekerjaan yang membosankan. Bisa jadi, ada sesuatu yang megah yang dapat dihasilkan dari hobi menunggu.
Kesabaran itu pasti! Kini semua waktu seperti berlalu cepat seperti enggan menunggu! Lama-lama juga terbiasa, biasa lama, lama juga biasa!
Tanpa sadar, dua jam, tiga jam, bahkan lebih dari lima jam berlalu. Dan rasanya, sudah pasti mampu membuat lebar perifer nadi melebar! Emosi tingkat dewa. Aku tak mampu berjanji pada diri sendiri bahwa semua akan baik-baik saja saat menunggu. Dari semua hal, sekecil apapun, menunggu itu menjemukan. Aku tak biasa melakukannya. Bahkan memilih enggan untuk melakukannya.
Dan kamu, dengan sopannya membuatku menunggu, berjam-jam, berkali-kali, berulang, tanpa bosan. Dan aku, dengan baik hatinya mau menunggu, berjam-jam, berkali-kali, berulang, tanpa bosan. Tentu saja ini berproses dengan sangat amat rumit. Harus kuperdalam dulu ilmu menunggu. Perlu kesabaran mengusap peluh keringat yang berkejar-kejaran membasahi. Perlu kesabaran memandangi jarum jam yang mendadak enggan berputar. Perlu kesabaran melihat orang berlalu lalang hingga berulang kali. Dan aku, masih terpaku pada satu waktu, menunggu! Awalnya begitu.
Lama bersama, dan tetap saja, kau selalu teramat manis untuk ditunggu. Ilmu menunggu mulai berkembang, meski beragam spekulasi perkiraan negatif dan kekesalan hati yang memuncah meleburkan hati nurani menjadi linangan air mata. Aku masih saja dengan manisnya menunggu kamu yang terlalu manis untuk tak ditunggu. Pekerjaan yang sulit, namun aku nampaknya mulai menjadi terbiasa. Mungkin sekarang, aku menjadi orang pertama penghuni bumi ini yang mulai menyukai hobi menunggu. Apapun itu alasannya, asal untuk kamu!
Menjadi sesuatu yang biasa karena sudah terbiasa. Meski terkadang umpatan dalam hati masih sering mengotori. Menunggu kini menjadi makanan sehari-hari. Mulai pagi menungguimu membuka mata, menungguimu ini, itu, dan lain-lainnya. Aku lebih berpikir keras untuk mengolah hobi menunggu ini menjadi sesuatu yang menjanjikan. Kalau memungkinkan, bisa saja aku sambil beternak hewan kesayangan, atau melipat daun-daun sirih untuk menginang. Agar diibaratkan, sekali usapan peluh menunggu itu tak sia-sia.
Kesabaranku mengusap peluh keringat, kini menjadi tumpahan ide-ide segar dari otak yang meleleh. Kesabaranku memandangi jarum jam, kini menjadi sabar mengamati alam, mengamati apa-apa di sekitar, mengolahnya dan mencetaknya menjadi berbagai cerita menakjubkan. Kesabaranku melihat orang berlalulalang berulang kali, kini menjadi peka untuk melihat pada sesama. Menunggu itu ternyata tak selamanya menjadi pekerjaan yang membosankan. Bisa jadi, ada sesuatu yang megah yang dapat dihasilkan dari hobi menunggu.
Kesabaran itu pasti! Kini semua waktu seperti berlalu cepat seperti enggan menunggu! Lama-lama juga terbiasa, biasa lama, lama juga biasa!
Tidak ada komentar:
Terima kasih sudah membacanya sampai selesai, semoga bermanfaat :) Please jangan tinggalkan link hidup dalam kolom komentar!
comment